Cinta , Luka , Derita

Aku tak bisa begitu saja mempercayai informasi bahwa kamu sedang dekat dengan seseorang. Mengingat kita telah berjanji untuk mendiskusikan ketidakpastian yang sewaktu-waktu mencoba merusak hubungan ini. Cukup satu penjelasan darimu, dia hanya seorang teman, mampu meruntuhkan segala prasangka buruk yang ada di benakku. Mereka hanya tak tau apa yang sebenarnya terjadi, lagi pula kita sudah berjanji untuk saling mempercayai.

Ketakutan kehilanganmu perlahan mulai menghilang seiring sikapmu yang masih menjadikanku sandaran saat kamu merasa lelah dengan keras nya kehidupanmu. Aku percaya, kamu pun masih menjadi angin siang yang berhembus ke arahku saat matahari mencoba mematahkan semangatku. Kita saling membutuhkan, saling menguatkan, saling memperjuangkan, dan saling mempertahankan.

Namun, disela-sela kesibukanku yang ku pikir akan membuatmu khawatir karena sedikitnya waktuku untukumu. Justru kamu yang sering menghilang tanpa kabar padahal seharusnya aku yang merasa sulit memberi kabar untukmu. Mengetahui kamu yang tak terlalu sibuk akhir-akhir ini, membuatku bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan tanpaku di dalam hidupmu?

Kusikapi ini dengan dewasa namun prasangka buruk tetap saja meraja. Pesan demi pesan seringkali kamu balas dengan terlambat. Kini kita bagaikan dua peramal yang handal, mengenai aku yang selalu benar menebak tak ada pesan darimu, dan kamu yang selalu benar menebak ada pesan dariku.

Ini terasa begitu nyata, bahwa kamu kini telah berbeda, dirimu yang dahulu sudah tiada. Ada yang terbang entah kemana, yaitu hati yang setiap pagi kusapa dengan mesra, kini malah membuatku merasakan lara. Haruskah aku yang mencari hati yang seharusnya tetap ada disini. Atau mungkin sebab hatimu sudah memiliki sayap, seakan-akan hatimu bisa terbang kemana saja, mencari tempat berlabuh dan tumbuh pada hati yang baru.

Jangan seperti itu, aku khawatir sayapmu hilang ketika sedang melakukan perjalanan menuju hati yang baru dan bukan terjatuh pada hati sesorang melainkan di rerumputan tanpa ada seorang pun yang melintas. Lantas, bagaimana kamu akan kembali? Yang tersisa darimu hanyalah sepi tanpa seorang pun yang akan peduli dan mengira dirimu telah mati.

Kabar demi kabar kuterima dengan berat hati, hingga aku tak mampu lagi menepis kamu memiliki cinta yang lain. Aku masih tetap diam membiarkan segalanya berjalan apa adanya.

Setiap kali kita bertemu, aku ingin membahas mengenai ini. Sikapmu yang tenang seakan-akan tak terjadi apapun membuatku merasa muak dengan sandiwara yang sedang kamu mainkan. Sehebat itukah kamu menutupi apa yang sedang kamu lakukan di belakang ku? Sebodoh itukah aku menurutmu, menganggap aku tak tahu dan kamu menjadi leluasa memiliki dua cinta pada waktu yang sama.

Sulit jika kuharus jujur, mengatakan semuanya bagaimana kekecewaanku terhadapmu. Adapun aku yang masih mencoba meredam luka hati ini seorang diri. Sebenarnya, ada satu hal yang kupertimbangkan setiap kali ingin kutanyakan.

Bukankah aku tak tahu mengenai dia, hanya saja aku tak mau memulai pertengkaran di antara kita. Sebab aku belum siap jika harus melepasmu, sebab aku belum sanggup jika harus merelakanmu, sebab aku belum mampu jika harus melupakan hal tentang dirimu. Terlebih aku takut kehilanganmu, meskipun kutahu tetap mempertahankan mu adalah sebuah kesalahan.

Baginya, jika aku melangkahkan kaki satu kali ke arahnya, dia akan melangkah maju satu kali. Jika aku mundur satu kali, dia akan melangkah maju satu kali. Itu artinya setiap langkah mundur ku dibalas dengan ketidakpedulian darinya. Sedangkan jika aku tak melangkah kemana pun, dia hanya akan diam, membiarkan ku tersiksa oleh sikapnya yang dia anggap biasa.

Kita bagikan berjalan di tengah badai pasir Gurun Sahara. Aku memperhatikanmu samar-samar bejalan ke arahku, memegang lenganku, berharap badai pasir ini akan berhenti. Namun, ketika badai pasir ini perlahan mulai menghilang, lengan darimu sudah menggengam lengan seseorang lainnya. Demikianlah aku mengetahui keadaan kita saat ini. Inilah aku yang terjebak dalam situasi saat aku ingin marah dan melepasmu, namun aku masih mencintaimu.

Sebelum aku memutuskan akan membicarakannya denganmu, ada pertarungan yang hebat antara hatiku yang ingin tetap bersamamu, dengan akalku yang sudah mengatakan " sudah waktunya aku melepasmu " . Tuhan, apa yang aku harus lakukan? Berpura-pura tak tahu dan menunggu semua ini mereda, atau menegurnya tanpa ragu dan membiarkan semuanya menjadi jelas tanpa harus takut hingga tidak ada lagi kabut yang menutup.

Apapun yang diucapkan nya nanti, telah kupasang sebuah telinga untuk mendengarkan dan menerima. Aku mulai memikirkan semuanya dengan pikiran yang sehat dan pertimbangan yang logis. Mengenai jawabanmu yang menyesakkan hati, mengenai sikapku yang tak takut tak terkendali, namun bagaimanapun aku akan berusaha, untuk menghormati setiap keputusan yang kamu beri, kamu pun tau sikapku yang satu ini.

Hari saat aku akan membahas semuanya telah tiba. Tepat ketika sang senja memeluk lembut wajahku kamu pun mengakui semua perbuatanmu. Maka tak ada lagi yang perlu dibicarakan karna cintamu telah terbagi. Itu berarti kamu kalah dalam mempertahankan janji untuk tidak mengkhianati . Di penghujung waktu terakhir pertemuan kita, aku berupaya untuk tetap tegar dan tersenyum, lalu berjalan membelakangimu dengan menggenggam jemariku menahan agar tak ada amarah yang keluar untuk orang seperti mu.

Kini aku merasa begitu tangguh saat mampu menutupi luka. Entahlah, apa aku memang benar-benar tangguh? Ataukah hati masih saja mengais nama nya. Lagi-lagi aku hanya menghibur diriku sendiri , dengan berasumsi aku adalah seseorang yang sangat berempati untuk mengurangi luka dihati.

Lima bulan pertama tanpamu memang mudah, tapi lima bulan denganmu dan adanya dirinya itu jauh lebih tak mudah. Perlahan tapi pasti aku mulai bisa berdiri kembali dan menjalani hari tanpa memikirkanmu lagi, dan sesekali kamu mengirimiku pesan, sebagai bentuk kerinduan yang selalu aku acuhkan.

Hingga pada akhir tahun ini, saudaramu yang memberiku kabar tentangmu merangkulku ketika aku sedang berdiri memperhatikanmu . Tak terasa, di pemakaman ini tetas air mata pertama sudah menyentuh bumi tempatmu berbaring di peristirahatan terakhirmu. Pilihan cintamu yang menghempaskanku dulu berujung duka nestapa. Mobil yang kamu gunakan bersamanya hilang kendali dan menyebabkan kamu pendarahan hebat dibagian kepala. Dan daya tahan tubuhmu terus menurun hingga kamu pun tak sanggup melanjutkan kehidupanmu.

Seketika saja aku mengingat kembali segala hal yang pernah kita lalui, mulai dari awal kita dipertemukan hingga akhirnya kita dipisahkan. Kini semua menjadi jelas mengapa sikapmu kala itu ingin menjauhiku dan pergi bersama cinta yang baru. Tak pernah kuduga, saat aku terpuruk karenamu, kamu sudah berbadan dua karena nya. Pikiranku berkecamuk, duka amarah bergejolak bagaikan gunung berapi bergemuruh dan melebur tak tertahankan bagikan aliran lava yang keluar dari kedua mataku. Tanganku mengepal, sangat kuat, ingin segera mencari keberadaan lelaki itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudihkah berteman (?)

Kamu yang tak bersemayam