Tiket perpisahan

Terikat dengan mimpi yang tidak ingin kita perjuangkan, bersujud dalam nurani insani. Setiap hari kita menyalahkan takdir, seakan kita telah berjuang mati-matian. Entah untuk apapun itu. Sampai aku menikah dengan seorang, dan kamu menikah dengan seorang, atau mungkin, sampai itu seterusnya.

Dan di sinilah bagian terbaik dari pengelana asmara, dimana selamanya, kita akan saling mencintai dalam diam. Karena mungkin, jika kita yang menikah, kita akan menghabiskan hari dengan saling menyalahkan, lalu asmara terbunuh pelan-pelan.
Dan satu-satunya yang akhirnya membuat kita tetap bertahan, adalah anak-anak kita.

Dan sekarang, di sinilah kita berdiri, di tempat orang-orang yang merasa dikecewakan. Iya, aku seorang lelaki yang tidak pernah peka, dan kamu seorang wanita yang selalu memelihara gengsi. Terdiam, dalam sirat yang seharusnya tersurat, terhenti dalam kutukan seorang penakut. Setiap harinya kita berpura, seakan kita tidak pernah lebih buruk. Sampai aku menjadi diriku dengan yang lain, dan kamu menjadi dirimu dengan yang lain, atau mungkin, sampai kita mati menyendiri.

Dan beginilah sudut pandang perihal asmara, dimana selamanya kita akan saling mengharapkan. Karena mungkin jika kita yang bicara, kita akan mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak seharusnya terdengar, lalu semuanya menjadi semakin lebih buruk. Hingga satu-satunya tempat yang tersisa untuk kita sembunyi, adalah di sekitar orang-orang yang merasa kita lebih baik jika kita tidak pernah bicara. Begitu menyedihkan, hingga kita menjalani hidup dengan air mata yang sama, setiap harinya.
Iya, lalu kita mati, menyesali hal-hal indah yang tidak pernah kita lakukan. Dan iya, lalu kita mati, dalam keadaan tidak pernah memilih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudihkah berteman (?)

Kamu yang tak bersemayam