Memilih pergi

Jika sedikit saja kamu mampu menghargai keberadaanku, mungkin kamu kini masih aku perjuangkan. Kamu adalah manusia favoritku, tempat aku bercerita keluh kesah, dan jemunya kegiatanku, kopi di pagi hariku, dunia dalam duniaku, jingga dalam senjaku.


Namun segila apapun aku memujamu, aku tidak lagi pernah menyentuh hatimu dan menjadi bagian dari duniamu. Setiap senti luka yang kamu beri membuat otakku memaki hati.


Aku tidak tau alasan apa yang membuatku begitu keras kepala kemarin meyakinkan kamu akan membalas rasa. Sedangkan kamu bersikukuh dengan tega membungkus kata dalam tanda tanya.


Aku tidak pernah mengerti, kamu menggenggam tapi tidak menuntun, memiliki namun tidak merasai.

Kamu mungkin lupa, bahwa kamu dicintai pria biasa, yang juga memiliki impian untuk di cinta.


Aku pikir aku masih bisa bertahan dalam alasanmu dan ketidakpedulianmu, namun sampai aku berharap pelangi di malam hari. 

Bukankah setiap orang harus memiliki titik henti? Ataupun kesadaran untuk tau kapan ia harus beristirahat.


Untuk benar-benar pergi tidak akan pernah mudah bagiku, terlebih lagi perihal kamu.


Namun akupun tetap harus memilih pergi, tidak meninggalkan seutuhnya. 

Aku tetap disini, mengawasimu, menjagamu dalam setiap doa yang aku panjatkan. 

Tapi tidak lagi mengaharapkan ataupun mengusik kembali. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudihkah berteman (?)

Kamu yang tak bersemayam